Di antara nama Allah yang agung adalah Al-Malik, Al-Maalik, dan Al-Maliik — tiga nama yang menegaskan bahwa Allah adalah Penguasa, Pemilik, dan Raja segala sesuatu. Memahami makna ketiga nama ini bukan sekadar ilmu, tetapi fondasi tauhid ibadah. Sebab, siapa yang meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya pemilik mutlak segala kekuasaan dan kendali, maka ia tak akan mempersembahkan ibadah kepada selain-Nya.

Dalam tulisan ini, kita akan bersama-sama menelaah dalil ketiga nama ini dalam Al-Qur’an, kandungan maknanya, serta konsekuensinya bagi kita sebagai hamba: yaitu kewajiban untuk hanya tunduk, berharap, dan beribadah kepada Allah semata.

Semoga menjadi jalan mengokohkan tauhid dan memperdalam kecintaan kepada Rabbul ‘Ālamīn.

Dalil nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”

Nama al-Malik disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali, di antaranya:

Firman Allah Ta’ala,

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ

“Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Sebenar-benarnya.” (QS. Thaha: 114)

Firman-Nya,

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ

“Dialah Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja…” (QS. Al-Hasyr: 23)

Firman-Nya,

مَلِكِ النَّاسِ

Raja manusia…” (QS. An-Naas: 2)

Sedangkan al-Maliik hanya disebutkan sekali, dalam firman Allah,

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ * فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ

“Sesungguhnya orang-orang bertakwa berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai. Di tempat yang penuh kebenaran, di sisi Penguasa yang Maha Berkuasa.” (QS. Al-Qamar: 54–55)

Adapun al-Maalik, disebutkan sebanyak dua kali:

Dalam firman-Nya,

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

Pemilik hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah: 4)

Dan firman-Nya,

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ

“Katakanlah: Ya Allah, Pemilik kerajaan…” (QS. Ali ‘Imran: 26) [1]

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah al-Maalik termasuk dalam asmaul husna (nama-nama Allah yang paling indah) atau tidak. Di antara yang menghitung al-Maalik sebagai bagian dari asmaul husna adalah: Ibnu Mandah, Ibnul ‘Arabi, dan Ibnu Hajar rahimahumullah. [2]

Kandungan makna nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”

Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.

Makna bahasa dari “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik”

Al-Malik ( الْمَلِكُ ) adalah sifat musyabbahah (sifat tetap yang menunjukkan makna kuat dan terus-menerus). [3]

Al-Maalik ( المالك ) adalah isim fa’il (kata benda pelaku) dari kata kerja malaka–yamliku (memiliki). [4]

Al-Maliik ( المليك ) adalah sighat mubalaghah (bentuk superlatif yang menunjukkan makna sangat atau maha). [5]

Ketiga kata tersebut, bermakna ( ذو المُلك ), yaitu pemilik kekuasaan. [6]

Makna dari (ملك) mīm, lām, dan kāf; adalah kekuatan dan kemantapan pada sesuatu. Ibnu Faris mengatakan,

(ملك) الْمِيمُ وَاللَّامُ وَالْكَافُ أَصْلٌ صَحِيحٌ يَدُلُّ عَلَى قُوَّةٍ فِي الشَّيْءِ وَصِحَّةٍ.

“Huruf mīm, lām, dan kāf merupakan akar kata yang sahih, yang menunjukkan makna kekuatan dan kemantapan pada sesuatu.” [7]

Makna “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik” dalam konteks Allah

Ketika Ibnu Katsir rahimahullah mentafsirkan surah al-Hasyr ayat 23, beliau mengatakan,

{هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ} أَيِ: الْمَالِكُ لِجَمِيعِ الْأَشْيَاءِ الْمُتَصَرِّفُ فِيهَا بِلَا مُمَانَعَةٍ وَلَا مُدَافَعَةٍ.

“Dan firman-Nya (yang artinya), ‘Dialah Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, Raja’ — maksudnya: Pemilik segala sesuatu, yang mengatur semuanya tanpa ada penentangan dan tanpa ada perlawanan.” [8]

Tentang makna Al-Maliik, beliau mengatakan dalam tafsirnya terhadap surah Al-Qomar ayat ke 55,

{عِنْدَ ‌مَلِيكٍ ‌مُقْتَدِرٍ} أَيْ: عِنْدَ الْمَلِكِ الْعَظِيمِ الْخَالِقِ لِلْأَشْيَاءِ كُلِّهَا وَمُقَدِّرِهَا، وَهُوَ مُقْتَدِرٌ عَلَى مَا يَشَاءُ مِمَّا يَطْلُبُونَ وَيُرِيدُونَ

“Pada firman Allah (yang artinya) ‘di sisi Raja yang Maha Kuasa’ — maksudnya: di sisi Raja yang Agung, Pencipta segala sesuatu, dan yang menetapkannya. Dia Maha Kuasa atas segala yang mereka minta dan inginkan.” [9]

Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy menjelaskan makna Al-Malik dan Al-Maalik, beliau mengatakan,

“‌الملك، المالك”: الذي له ‌الملك فهو الموصوف بصفة ‌الملك، وهي صفات العظمة والكبرياء، والقهر والتدبير، الذي له التصرف المطلق في الخلق والأمر والجزاء، وله جميع العالم العلوي والسفلي، كلهم عبيد ومماليك، ومضطرون إليه.

Al-Malik dan al-Mālik: yaitu Dzat yang memiliki kerajaan, yang disifati dengan sifat al-mulk (kerajaan), yaitu sifat keagungan, kebesaran, penguasaan, dan pengaturan. Dia-lah yang memiliki pengaturan mutlak atas penciptaan, perintah, dan pembalasan. Seluruh makhluk di langit maupun di bumi adalah hamba-Nya, milik-Nya, dan bergantung sepenuhnya kepada-Nya.” [10]

Secara lebih rinci, Syekh ‘Abdur Razzaq al-Badr menjelaskan makna nama-nama tersebut. Beliau mengatakan, “Dua nama ini (yaitu al-Malik dan al-Malīk) menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā adalah Dzat yang memiliki kerajaan — maksudnya: pemilik segala sesuatu, yang mengaturnya tanpa ada penentangan dan perlawanan. Adapun makna al-mulk (kerajaan) dalam hal ini mencakup tiga hal:

Pertama: Penetapan sifat-sifat kerajaan bagi-Nya, yaitu sifat-sifat-Nya yang agung, seperti: kesempurnaan kekuatan, keperkasaan, kekuasaan, ilmu yang meliputi segala sesuatu, hikmah yang luas, kehendak yang mutlak, pengaturan yang sempurna, kelembutan, rahmat, serta hukum-Nya yang berlaku atas seluruh alam, baik langit maupun bumi, di dunia dan akhirat.

Kedua: Bahwa seluruh makhluk adalah milik dan hamba-Nya. Mereka bergantung penuh kepada-Nya dalam seluruh urusan mereka. Tidak ada satu makhluk pun yang keluar dari kerajaan-Nya. Tidak ada makhluk yang bisa mandiri dari penciptaan dan pemberian-Nya, dari manfaat dan perlindungan-Nya, serta dari karunia dan anugerah-Nya.

Ketiga: Bahwa Allah memiliki pengaturan yang sempurna. Dia menetapkan dalam kerajaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Dia menetapkan hukum sebagaimana yang Dia inginkan. Tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya dan tidak ada yang bisa membatalkan hukum-Nya. Dia memiliki tiga jenis hukum:

[1] Hukum qadar (takdir): Segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketetapan dan keputusan-Nya — termasuk penciptaan, persiapan, kehidupan, kematian, dan lainnya.

[2] Hukum syariat (agama): Dia mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab, mensyariatkan aturan-aturan, menciptakan manusia untuk mengikuti hukum ini, memerintahkan mereka untuk menaatinya dalam akidah, akhlak, perkataan, perbuatan, baik lahir maupun batin, dan melarang mereka dari menyimpang darinya.

[3] Hukum balasan (jazā’): Yaitu pemberian pahala terhadap amal baik dan hukuman terhadap perbuatan buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Semua bentuk hukum ini tunduk pada keadilan dan hikmah-Nya. Dan seluruhnya termasuk dalam makna kerajaan-Nya. [11]

Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Mutakabbir”

Konsekuensi dari nama Allah “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik” bagi hamba

Penetapan nama “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini beberapa konsekuensinya dari sisi hamba:

Beriman bahwa “Al-Malik”, “Al-Maalik”, dan “Al-Maliik” merupakan nama Allah

Yaitu bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala adalah Al-Maalik (Pemilik) seluruh makhluk dan segala sesuatu, yang mengatur dan menguasai semuanya tanpa ada yang bisa menentang atau mencegah-Nya. Dia juga adalah Al-Malik Yang Mahaagung, Sang Pencipta segala sesuatu, dan Sang Penentu segala urusan.

Wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah (tauhid uluhiyah)

Syekh ‘Abdur Razzaq al-Badr mengatakan, “Telah berulang kali dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa Allah-lah satu-satunya Pemilik al-mulk (kerajaan) tanpa sekutu, dan ini merupakan bukti nyata atas kewajiban mengesakan-Nya dalam ibadah. Allah Ta‘ala berfirman,

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ

“Itulah Allah, Rabb kalian. Milik-Nya-lah seluruh kerajaan. Tidak ada ilah (sesembahan) selain Dia. Maka bagaimana kalian bisa dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS. Az-Zumar: 6)

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

“Maka Mahatinggi Allah, Raja yang Mahabenar. Tidak ada ilah yang benar selain Dia, Rabb ‘Arsy yang mulia.” (QS. Al-Mu’minun: 116)

Dan sesungguhnya, menyembah selain Allah — makhluk yang tidak bisa menciptakan apa pun, tidak memiliki kuasa memberi manfaat atau menolak mudarat, tidak menguasai kehidupan, kematian, atau kebangkitan — adalah bentuk kesesatan paling nyata dan kebatilan paling besar. Allah Ta‘ala berfirman,

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيوَةً وَلَا نُشُورًا

“Mereka menjadikan selain Allah sebagai sesembahan — padahal mereka tidak menciptakan sesuatu pun, bahkan mereka sendiri diciptakan. Mereka tidak mampu menolak mudarat atau memberi manfaat bagi diri mereka sendiri, dan tidak pula menguasai kematian, kehidupan, ataupun kebangkitan.” (QS. Al-Furqan: 3)

Maka siapa pun yang tidak memiliki kekuasaan — bahkan sebesar biji atom pun — di alam semesta ini, tidak layak dijadikan sesembahan. Ibadah hanyalah hak Allah semata: Raja Yang Mahabesar, Pencipta Yang Mahahebat, dan Rabb yang mengatur seluruh alam semesta tanpa sekutu bagi-Nya. Mahaagung nama-Nya, Mahaluas kekuasaan-Nya, Mahatinggi kedudukan-Nya. Tiada ilah yang benar selain Dia. [12]

Kita memohon kepada Allah, Dzat Yang Maha Merajai, Yang Maha Memiliki, dan Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, agar meneguhkan hati kita di atas tauhid, menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang hanya menyembah dan berserah diri kepada-Nya, serta melindungi kita dari mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Mengabulkan permintaan.

Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Jabbar”

***

Rumdin PPIA Sragen, 3 Muharam 1447

Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi utama:

Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan Revisi oleh Anas Muhammad al-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439 H.

Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.

Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.

An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.

 

Catatan kaki:

[1] an-Nahj al-Asma, hal. 71

[2] Lihat Asma’ullah al-Husna karya Abdullah bin Shalih al-Ghushn, hal. 331–344.

[3] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf as-Sharif, hal. 548

[4] Ibid, hal. 1.

[5] Ibid, hal. 531.

[6] an-Nahj al-Asma, hal. 71.

[7] Mu’jam Maqayis al-Lughah, hal. 871. Lihat juga al-Mishbah al-Munīr fī Gharīb asy-Syarḥ al-Kabīr, hal. 593.

[8] Tafsir Ibnu Katsir, 8: 79.

[9] Ibid, 7: 487.

[10] Taisīr al-Karīm ar-Rahmān, hal. 945.

[11] Diringkas dari Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 115–116. Lihat juga At-Ta’liiqul Asnaa, hal. 63-64.

[12] Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 117–118.





Game Center

Game News

Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime

Gaming Center

Kiriman serupa