الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد المبعوث رحمة للعالمين ، وعلى آله وصحبه ومن سار على نهجه إلى يوم الدين ، وبعد
Pembahasan mengenai penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah adalah pembahasan yang sering di diskusikan di waktu-waktu bulan Zulhijah. Dan pembahasan ini pun sejatinya telah dibahas oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sehingga tidak ada cela bila terus membahasnya dalam rangka menyebarkan ilmu dan mendekatkan umat kepada ilmu yang telah kita ketahui bersama betapa agungnya kedudukan ilmu bagi seorang muslim. Tentunya dengan tetap memperhatikan koridor-koridor dalam berdiskusi dan bersikap adil dalam menyikapi perbedaan yang ada, tanpa melebihi batas.
Perbedaan pendapat di antara para ulama beserta dalil-dalilnya
Mathla’ artinya tempat terlihatnya hilal yang menunjukkan bulan baru atau awal bulan. Suatu hal yang disepakati bahwa mathla’ itu bisa berbeda-beda tergantung tempat melihatnya. Oleh karena itu, terkadang (atau bahkan sering), hilal sudah terlihat di negeri A namun tidak terlihat di negeri B. Dan ini tentunya mengakibatkan perbedaan penentuan awal bulan.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai masalah penentuan hari Arafah ketika terjadi perbedaan mathla’ atau perbedaan penentuan awal bulan Zulhijah menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama
Bahwa hari Arafah itu adalah hari ketika para jemaah haji wukuf di Arafah dan seluruh umat Islam di berbagai negeri mengikuti waktu tersebut. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Saudi Arabia) yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, Lajnah Al-Ifta Al-Mishriyyah (Mesir), Syekh Faishal Maulawi, Syekh Hisamuddin ‘Affanah, Syekh Abdurrahman As-Suhaim, Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad, dan para ulama yang lain.
Dalil-dalil mereka adalah:
Dalil pertama, yang dimaksud hari Arafah adalah hari ketika jemaah hari wukuf di Arafah. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa dalil:
Dari ‘Atha’ rahimahullah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )
“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 5: 176 dan Asy-Syafi’i dalam Al-Umm 1: 264 dari ‘Atha’ secara mursal dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 4224)
Dari Ibnul Munkadir, dari ‘Aisyah radhiyallahu ’anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عرفة يوم يعرف الإمام
“Hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 175], Ibnu Hajar dalam At Talkhis berkata, “Dalam riwayat ini Mujahid bersendirian, lalu Al-Baihaqi berkata bahwa periwayatan Muhammad bin Al-Munkadir dari ‘Aisyah statusnya mursal. Dan perkataan Al-Baihaqi ini benar. Walaupun At-Tirmidzi telah menukil dari Imam Bukhari bahwa beliau berkata bahwa Ibnul Munkadir mendengar hadis dari ‘Aisyah.”)
Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24) berkata, “Sanad hadis ini lemah, Muhammad bin Ismail Al Farisi disebutkan dalam Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqat (9: 78), ‘Dia sering meriwayatkan hadis gharib’ dan lihat juga Lisanul Mizan (5: 77). Walaupun demikian, Asy-Syekh Ahmad Syakir mensahihkan hadis ini dalam tulisan beliau yang berjudul Awa’ilus Syuhur Al-‘Arabiyyah Hal Yajuz Syar’an Itsbatuha bil Hisab Al Falakiy (hal. 26)”.
Dari Masruq, beliau menemui ‘Aisyah radhiyallahu ’anha di hari Arafah, kemudian Masruq berkata, ‘Beri aku minum’. Lalu ‘Aisyah berkata, ‘Wahai budak, berilah ia minuman madu. Wahai Masruq, apakah engkau tidak puasa?’ Masruq berkata, ‘Tidak, saya khawatir ini sudah hari Iduladha.’ ‘Aisyah berkata,
ليس ذلك إنما عرفة يوم يعرف الإمام ، ويوم النحر يوم ينحر الإمام ، أو ما سمعت يا مسروق أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعدله بألف يوم
“Bukan demikian, sesungguhnya hari Arafah adalah hari ketika imam melakukan wukuf Arafah dan hari Iduladha adalah hari ketika imam berkurban. Atau mungkin engkau belum mendengar wahai Masruq, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi Wasallam menyamakan puasa Arafah dengan puasa 1000 hari?” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath, Al-Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid [3: 190] berkata, “Dalam sanadnya ada Dalham bin Shalih, ia dianggap lemah oleh Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, sehingga sanadnya hasan.” Dan hadis ini dilemahkan oleh Syekh Al-Albani dalam Dha’if At Targhib wat Tarhib)
Dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Khalid bin Usaid ia berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه
“Hari Arafah adalah hari ketika orang-orang berwukuf di Arafah ketika itu.” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya [2: 224] dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra [5: 176] dan ia berkata, ‘Hadis ini mursal jayyid dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Al-Marasil.“)
Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Al-Habir berkata, “Abdul Aziz ini seorang tabi’in. Ibnu Syahin menukil perkataan Ibnu Abi Dawud bahwa status Abdul Aziz diperselisihkan (ia sahabat Nabi atau bukan). Abu Nu’aim meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifatus Shahabah dalam biografi Abdullah bin Khalid, ayah Abdul Aziz, dengan hadis ini dari jalan Abdul Aziz dari Abdullah bin Khalid.”
Ibnu Hajar juga berkata dalam At-Taqrib (1: 472), “Sebagian ulama ada yang menyebutnya sebagai sahabat Nabi.” Namun hal ini tidak mengeluarkan hadis ini dari status mursal, karena Abdullah bin Khalid bin Usaid (ayah Abdul Aziz) juga dikatakan oleh Ibnu Mandah, “Status shuhbah dan ru’yah-nya perlu dikritisi.” Artinya, Abdullah bin Khalid juga masih diperselisihkan apakah ia sahabat Nabi atau bukan. Pernyataan demikian juga ada dari Abu Nu’aim dalam kitab Ma’rifatus Shahabah, juga Ibnu Al-Atsir dalam Usudul Ghabah. Hadis ini dilemahkan oleh Syekh Abdullah bin Jibrin rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap tulisan Ibnu Rajab yang berjudul Ahkamul Ikhtilaf fi Ru’yatil Hilal Zulhijah (hal. 24). Beliau menjelaskan bahwa hadis ini memiliki 3 illah (cacat). Beliau juga menyebutkan bahwa hadis ini memiliki syahid yang tidak bisa cukup untuk mengangkat derajatnya, yaitu riwayat dari Al-Waqidi yang ia statusnya matruk.
Sanggahan:
Jika kita perhatikan dengan seksama dalil-dalil yang sahih dari beberapa dalil di atas, tidak ada dalil yang sharih (tegas) menyatakan bahwa puasa Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji. Yang ada adalah penyebutan hari Arafah sebagai hari wukufnya jemaah haji. Dan hadis-hadis tersebut semisal dengan hadis,
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ , وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ
“Kalian berpuasa ketika kalian semuanya berpuasa, dan kalian berbuka ketika kalian semua berbuka.” (HR. Ad-Daruquthni no. 385, Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 238)
Oleh karena itu, karena hadis-hadis ini semisal, mengapa membedakan antara ini dan itu. Semestinya berlakukan kaidah yang sama antara puasa Arafah dan puasa Ramadan dan Idulfitri, yaitu mengikuti hilal masing-masing negeri.
Dalil kedua, Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menyandingkan kata “shiyam” dengan kata “hari Arafah”, dalam hadis,
صيام يوم عرفة
“Puasa hari Arafah.” (HR. Muslim no. 116)
Ini menunjukkan bahwa puasa dilakukan ketika orang-orang berwukuf di Arafah sehingga dinamakan puasa hari Arafah.
Sanggahan:
Pendalilan ini juga tidak sharih (tegas) menunjukkan bahwa puasa Arafah dilakukan di hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah. Karena pada hadis yang lain justru tegas disebutkan hari tersebut adalah 9 Zulhijah. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha, ia berkata,
كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ
“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Dalil ketiga, adanya ijma’ amali selama puluhan tahun bahwa hari Arafah itu mengikuti wukufnya jemaah haji di Arafah. Telah dinukil oleh Syekh Hisamuddin ‘Affanah dari Syekh Dr. Muhammad Sulaiman Al-Asyqar bahwa beliau berkata,
إن المسلمين في جميع أقطار العالم الإسلامي قد أجمعوا إجماعاً عملياً منذ عشرات السنين على متابعة الحجاج في عيد الأضحى ولا يجوز لأي جهة أو مجموعة من الناس مخالفة هذا الإجماع
“Kaum muslimin di seluruh negeri sudah ijmak secara praktek sejak puluhan tahun bahwa Iduladha itu mengikuti jemaah haji, dan tidak boleh sedikit pun atau sekelompok orang manapun menyelisihi ijmak ini.”
Syekh Abdurrahman As-Suhaim rahimahullah mengatakan,
ولا عبرة هنا باختلاف المطالع ؛ لأن الأمة تجتمع على أن يوم عرفة في ذلك اليوم الْمُحدَّد ، وعادة من يُخالف في ذلك لا يُخالف لأجل اختلاف مطالع ، بل لأمور سياسية !
“Perbedaan mathla’ tidak ada artinya dalam masalah ini, karena umat telah sepakat bahwa hari Arafah itu pada waktu yang ditentukan tersebut. Dan biasanya, perbedaan dalam masalah ini bukanlah karena perbedaan mathla’, namun karena sekedar kepentingan politik.”
Sanggahan:
Syekh Ahmad bin Muhammad bin Khalil mengatakan,
فهو أمر غير مسلم به ولا يستند إلى دليل ، فمازال الناس يختلفون في ذلك . فأما عدم اجتماعهم قبل توفر وسائل العلم الحديثة للاتصال فهو معلوم لا يشك فيه عاقل ، فإن المسلمين قبل اختراع وسائل الإتصال الحديثة ، لم يلتفتوا أصلاً إلى وقوف الناس في عرفة كشرط لصومهم عرفةَ في بلادهم، طوال أكثر من ألف وثلاثمائة عام ، بل ولم يذكر أحد من الفقهاء أن من شرط صحة صيام يوم عرفة أن يوافق وقوف الناس بعرفة
“Ini adalah perkara yang perlu dikritisi. Karena justru sejak dahulu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Adapun perselisihan yang terjadi sebelum banyaknya media komunikasi, maka hal ini wajar dan tidak diragukan lagi bagi orang berakal. Karena kaum muslimin ketika belum ditemukan media komunikasi modern, mereka sama sekali tidak berpatokan pada wukufnya jemaah haji, semisal dalam hal menentukan puasa Arafah. Ini terjadi sepanjang 1300 tahun lebih. Bahkan tidak ada satu pun ulama ahli fikih yang mensyaratkan sahnya puasa Arafah adalah mencocoki wukufnya jemaah haji di Arafah.”
Dalil keempat, jika melihat keutamaan dan keagungan hari Arafah dalam hadis-hadis, maka hari yang layak dan sesuai dengannya adalah hari ketika jemaah haji wukuf di Arafah.
Sanggahan:
Keutamaan dan keagungan hari Arafah adalah bagi orang-orang yang wukuf di Arafah. Adapun keutamaan puasa Arafah itu untuk seluruh manusia yang tidak sedang berhaji. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
صيامُ يومِ عرفةَ ، أَحتسبُ على اللهِ أن يُكفِّرَ السنةَ التي قبلَه . والسنةَ التي بعده
“Puasa di hari Arafah aku harapkan bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim no. 1162)
Hadis ini umum berlaku untuk semua orang yang tidak berhaji. Maka puasa Arafah tidak harus mencocoki wukufnya jemaah haji.
Pendapat kedua
Bahwa hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah, baik bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji ataupun tidak. Karena setiap negeri memiliki hasil ru’yatul hilal masing-masing (ikhtilaful mathali’). Di antara yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh Abdullah bin Jibrin, Syekh Hani bin Abdillah Al-Jubair, Syekh Prof. Dr. Ahmad Al-Haji Al-Kurdi, Syekh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih, dan lain-lain, hafizhahumullah.
Dalil-dalil mereka adalah:
Dalil pertama, masalah penentuan hari Arafah ini adalah masalah furu’ (turunan) dari pembahasan mengenai ikhtilaful mathali’. Sehingga dalil-dalilnya sebagaimana dalil-dalil dalam masalah ikhtilaful mathali’. Di antaranya Nabi shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda,
لا تصوموا حتى تروه، ولا تفطروا حتى تروه
“Janganlah berpuasa sampai engkau melihat hilal, janganlah berbuka hingga engkau melihat hilal.” (HR. Muslim no. 1080)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idulfitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Iduladha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi no. 632, Ad-Daruquthni no. 385)
Para ulama berbeda pendapat mengenai ikhtilaful mathali’, yaitu jika satu negeri sudah melihat hilal, apakah negeri lain mengikuti persaksian negeri tersebut ataukan mengikuti ru’yatul hilal di negeri masing-masing? Ini yang dibahas oleh para ulama. Dan dalam membahas masalah ini, para ulama tidak membedakan bulan Zulhijah dengan bulan yang lain.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan, “Masalah (penentuan hari Arafah) ini didasari oleh perselisihan para ulama mengenai apakah satu hilal berlaku untuk seluruh dunia ataukah hilal berbeda-beda tergantung mathla’? Yang benar dalam masalah ini, hilal berbeda-beda tergantung mathla’. Misalnya, di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Zulhijah. Sedangkan di negara lain, hilal Zulhijah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah adalah tanggal 10 Zulhijah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iduladha di negara mereka. Demikian pula, jika kemunculan hilal Zulhijah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah, sehingga tanggal 9 Zulhijah di Makkah itu baru tanggal 8 Zulhijah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Zulhijah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Zulhijah di Makkah.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no. 19)
Penjelasan demikian juga disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dan para ulama yang lain.
Sanggahan:
Dalil-dalil menunjukkan bahwa ini bukan masalah ikhtilaful mathali’ sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan penentuan awal puasa Ramadan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
( أضحاكم يوم تضحون ) وأراه قال : ( وعرفة يوم تعرفون )
“Hari Iduladha kalian adalah hari di mana kalian berkurban.” Dan aku mengira beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Dan hari Arafah adalah hari ketika kalian melakukan wukuf Arafah.”
Maka definisi “yaum arafah” adalah hari ketika para jemaah haji wukuf, sehingga yang menjadi patokan adalah wukuf. Dan ini disebutkan oleh sebagian ulama. Ibnul Arabi mengatakan,
وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها
“Seluruh manusia di segala penjuru mengikuti para jemaah haji dalam masalah tersebut.” (Ahkamul Qur’an, 1: 143)
Dalil kedua, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud hari Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah pada penanggalan Hijriah bukan melihat pada wukuf di padang Arafah. Oleh karena itu, para ulama mendefinisikan kata يوم عرفة dengan definisi tersebut, sebagaimana dalam Qamus Al-Fiqhi, Mu’jam Lughatil Fuqaha, dan syarah kitab-kitab sunnah. Yang menjadi perselisihan adalah mengenai sebab penamaan hari tersebut dengan hari Arafah.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan,
فأما يوم عرفة : فهو اليوم التاسع من ذي الحجة ، سمي بذلك لأن الوقوف بعرفة فيه ، وقيل : سمي يوم عرفة لأن إبراهيم عليه السلام أري في المنام ليلة التروية أنه يؤمر بذبح ابنه ، فأصبح يومه يتروى ، هل هذا من الله أو حلم ؟ فسمي يوم التروية ، فلما كانت الليلة الثانية رآه أيضا فأصبح يوم عرفة ، فعرف أنه من الله ، فسمي يوم عرفة ، وهو يوم شريف عظيم ، وعيد كريم ، وفضله كبير
“Adapun hari Arafah, maka ia adalah tanggal 9 Zulhijah. Dinamakan demikian karena di hari itu waktunya wukuf di Arafah. Sebagian ulama mengatakan, dinamakan demikian karena Ibrahim ‘alaihis salam diperlihatkan dalam mimpinya di malam Tarwiyah bahwasanya ia diperintahkan untuk menyembelih anaknya. Sehingga ketika bangun, ia pun yatarawwa (memikirkannya terus) apakah ini sekedar mimpi ataukah wahyu dari Allah? Maka dinamakanlah hari itu sebagai hari Tarwiyah. Dan di malam selanjutnya ia bermimpi lagi, sehingga jadilah hari itu hari Arafah, karena ia telah ‘arafa (mengetahui) bahwasanya itu adalah wahyu dari Allah. Sehingga dinamakan hari Arafah. Ia adalah hari yang agung dan mulia, dan merupakan id yang mulia, keutamaannya sangatlah besar.”
Dalil ketiga, terdapat riwayat yang menunjukkan secara sharih (tegas) bahwa hari Arafah adalah tanggal sembilan Zulhijah, di antaranya hadis Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau berkata,
كانَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يصومُ تسعَ ذي الحجَّةِ ، ويومَ عاشوراءَ ، وثلاثةَ أيَّامٍ من كلِّ شَهْرٍ ، أوَّلَ اثنينِ منَ الشَّهرِ والخميسَ
“Biasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam puasa di tanggal 9 Zulhijah, pada hari Asyura, puasa tiga hari di setiap bulan, dan puasa di hari Senin dan Kamis di awal bulan.” (HR. Abu Dawud no. 2437, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Sanggahan:
Hadis ini dilemahkan oleh sebagian ulama, diantaranya oleh Az-Zaila’i dalam Nashbur Rayah, dan juga Syu’aib Al-Arnauth dalam takhrij beliau terhadap Musnad Ahmad. Syekh Al-Albani sendiri walaupun mensahihkan dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih An-Nasa’i, beliau mendhaifkan di Shahih Al-Jami’.
Dalil keempat, terdapat riwayat sahih yang menunjukkan bahwa hari Iduladha dan Arafah itu mengikuti ulil amri. Dari Aisyah radhiyallahu ’anha,
أنه دخل هو ورجل معه على عائشة يوم عرفة ، فقالت عائشة : يا جارية ! خوضي لهما سويقاً وحليةً فلولا أني صائمة لذقته ، قالا : أتصومين يا أم المؤمنين ! ولا تدرين لعله يوم يوم النحر ، فقالت : إنما النحر إذا نحر الإمام ، وعظم الناس ، والفطر إذا أفطر الإمام وعظم الناس
“Masruq datang ke rumah Aisyah bersama seorang lelaki. Kemudian Aisyah berkata kepada budaknya, ‘Wahai budak, hidangkan kepada mereka sawiq (sejenis roti) dan manisan, andaikan saya tidak puasa saya juga akan mencobanya.’ Maka kedua lelaki tersebut berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, apakah engkau sedang berpuasa? Bukankah engkau tahu bahwa bisa jadi hari ini sudah hari menyembelih (Iduladha)?’ Maka Aisyah berkata, ‘Hari menyembelih adalah ketika imam (ulil amri) menyembelih, dan manusia berkumpul semua, dan hari berbuka adalah ketika imam berbuka dan manusia berkumpul semua.” (HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf [4: 157], dihasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah [1: 389])
Maka, dalam hadis ini jelas Aisyah menyandarkan lebaran dan puasa kepada keputusan ulil amri.
Dalil kelima, masalah ini adalah masalah khilafiyah yang mu’tabar, maka berlaku kaidah:
حكم الحاكم فيها يرفع الخلاف
“Keputusan hakim menyelesaikan perselisihan.”
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan,
إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف ، وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه
“Jika dua negara berada di bawah satu pemerintahan, lalu penguasa negara memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka, maka wajib untuk menaati perintahnya. Karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dan keputusan penguasa menghilangkan perbedaan pendapat. Berdasarkan hal ini, maka berpuasalah dan berbukalah sebagaimana penduduk negeri tempat kalian berada berpuasa dan berbuka, baik itu sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda. Demikian juga dengan hari Arafah, ikutilah negara tempat kalian berada.” (Majmu’ Fatawa war Rasail no.19)
Wallahu a’lam, pendapat kedua inilah yang lebih kuat karena lebih selamat dari isykal dan sanggahan. Yaitu bahwa puasa Arafah adalah tanggal 9 Zulhijah mengikuti ru’yatul hilal negeri masing-masing, tanpa melihat apakah bersesuaian dengan wukufnya jemaah haji atau tidak.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
Diringkas dari tulisan Syekh Dr. Ahmad bin Muhammad bin Khalil dengan beberapa penambahan.
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime